Harga minyak mentah dunia kompak terjun bebas sejak pekan lalu, dengan laju koreksi minyak acuan Amerika Serikat (AS) yang jatuh paling dalam. Jatuhnya harga minyak AS kali ini merupakan yang terendah sejak 2002 lalu.
Harga Minyak AS merosot hingga 8% ke US$ 18,27 per Barel setara Rp 292.320 (kurs Rp 16.000/US$). Nilai itu adalah level terendah sejak 18 tahun terakhir. Meski sebelumnya, pada November 2001, harga minyak AS pernah lebih rendah lagi yakni hingga US$ 17,33 per Barel.
Secara mingguan harga minyak mentah Brent yang menjadi acuan Eropa dan juga Indonesia merosot 10,8% ke US$ 28,08 per Barel. Penurunan terjadi setelah China mengumumkan penurunan ekonomi pada kuartal II-2020, sebesar minus 6,8%, yang merupakan penurunan kuartal yang pertama kali terjadi sejak tahun 1992.
Pasar minyak kembali tertekan sejalan melemahnya permintaan akan konsumsi bahan bakar. Padahal, OPEC dan produsen lainnya akhir pekan lalu telah mengumumkan kesepakatan pemangkasan produksi minyak hampir 10 juta barel per hari (bph), akan tetapi respons tersebut tetap dianggap sulit mengangkat kembali harga minyak dunia.
Para analis menilai anjloknya harga minyak dunia ini akan terus berlanjut sepanjang tahun karena dunia dengan cepat kehabisan ruang penyimpanan minyak tradisional mereka. Hal itu akan memaksa perusahaan minyak menimbun minyak di tempat-tempat yang lebih mahal termasuk di kapal.
Pasar harus menemukan rumah untuk barel (minyak) ini. Untuk melakukan itu, pemerintah harusnya memberi insentif kepada perusahaan untuk membuat (mencari) penyimpanan alternatif bagi minyak mentah tersebut.
Sebab, sejak diserang Corona, minyak mentah memang menumpuk dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Hal itu meningkatkan risiko dunia akan kehabisan ruang untuk menyimpan cadangan yang ada.
Pada kecepatan (penumpukan minyak) tersebut, kapasitas penyimpanan (minyak) akan penuh dalam waktu yang tidak terlalu lama.